Keniscayaan Pada Politik Uang dan Pragmatisme Dikalangan Pemilih Pada Pemilu 2024

‘Mohammad Akbar merupakan konsultan komunikasi. Ia juga menjadi salah satu penulis buku “Public Relations Crisis” yang menjadi rujukan berbagai pihak di bidang komunikasi. Sebelumnya, lulusan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Budi Luhur, bekerja sebagai jurnalis di PT Republika Media Mandiri selama 21 tahun. Setiap opini yang ditulis tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja’.

info ruang publik – Politik uang (money politic) sudah menjadi keniscayaan dalam kontestasi demokrasi. Fenomena itu diyakini masih sulit untuk dihilangkan meski beragam kampanye dan sosialisasi terus dilakukan untuk mengeliminasi praktik curang tersebut dari proses memilih pemimpin.

Fenomena itu kian dipertegas melalui riset yang dilakukan oleh agensi public relations (PR), Praxis Indonesia. Berdasarkan survei kepada 1.001 mahasiswa berusia 16-25 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024 dan diumumkan pada Senin (22/01/2023) itu menunjukkan adanya sikap permisif terhadap praktik politik uang.

Dari total responden, hanya ada 10,99 persen saja yang bersikap tegas dengan cara menolak. Lainnya menerima dengan sejumlah catatan. Salah satunya sikap pragmatis menerima tapi tidak memilih atau dikenal luas dengan slogan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”.

Perilaku semacam ini tentunya sungguh merisihkan. Apalagi fenomena dan perilaku itu telah mendapat tempat pada kelompok sosial masyarakat yang harusnya menjadi mesin perubahan negeri ini.

Jika melihat perjalanan sejarah bangsa, setiap perubahan mulai dari era prakemerdekaan, kemerdekaan hingga era reformasi, kaum muda terdidik selalu muncul dan menjadi motor penggerak perubahan. Artinya, ketika pragmatisme bersikap mahasiswa terhadap praktik politik uang sudah begitu permisif, tentunya hal ini menjadi warning yang membahayakan.

Tapi sungguh tak elok juga jika menyalahkan sepenuhnya sikap pragmatisme mahasiswa semacam itu. Sebagaimana pepatah yang menyebut bahwa “buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya”.

Maka sikap permisif mahasiswa terhadap praktik politik uang ini boleh jadi karena praktik itu sudah membudaya di semua lapisan masyarakat. Maaf, jika menyebut praktik politik uang ini sudah menjadi budaya. Tapi secara fakta praktik politik uang sudah menjadi fenomena sosial di negeri ini.

Sudah menjadi rahasia umum untuk menjadi pemimpin politik di negeri ini sungguh berbiaya mahal. Hasil penelitian yang pernah dipublikasikan Prajna Research Indonesia pada 2023 menunjukkan angka yang fantastis.

Riset tersebut memperlihatkan logistik yang dibutuhkan untuk menjadi calon anggota DPR RI berada pada rentang biaya Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar, lalu calon anggota DPRD Provinsi (Rp 500 juta – Rp 1 miliar) dan calon anggota DPRD kabupaten/kota (Rp 250 juta – Rp 300 juta).

Pola komunikasi yang usang

Lantas mengapa fenomena praktik politik uang ini masih terus menjamur? Jika kembali merujuk pada hasil riset Praxis Indonesia terlihat bahwa model komunikasi yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dinilai masih belum banyak melakukan perubahan.

Model komunikasi Out of Home (OOH) Advertising masih menjadi pendekatan yang paling masif dilakukan selama kampanye politik calon anggota legislatif (caleg) maupun calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).

Jika diterjemahkan OOH adalah media iklan luar ruangan dengan menargetkan orang-orang yang berada di luar rumah. Umumnya, OOH Advertising banyak ditemukan di area keramaian seperti halte, pinggiran jalan raya, bandara, area transit, stadion, bioskop, dan area-area publik lainnya.

Model komunikasi semacam itu sesungguhnya menjadi pola lama yang boleh jadi sudah usang. Di saat kemampuan Artificial Intelligence (AI), big data, digitalisasi dan internet, sudah menjadi bagian penting dalam membangun pola interaksi komunikasi maka memasarkan diri (personal branding) secara masif tanpa paham siapa target spesifik audiens tentunya menjadi satu kekeliruan besar.

Bahkan jika belajar pada pendekatan Marketing 4.0, di sana ditekankan betapa pentingnya memadukan interaksi online dan offline dengan menggabungkan style dengan substance.

Ini artinya sebuah brand (personal branding) tidak bisa sekadar mengedepankan digital branding yang bagus saja tapi bagaimana menghasilkan konten yang relevan, menarik, dan up-to-date. Dalam konteks komunikasi politik, maka pesan-pesan yang harusnya disampaikan oleh para politisi baik caleg maupun capres/cawapres harusnya sudah masuk pada gagasan yang dapat diimplementasikan secara nyata, bukan sekadar janji populis saja.

Merujuk pada pemahaman tersebut, temuan yang didapat dari riset Praxis Indonesia menjadi sangat relevan. Dari survei itu ditunjukkan hanya ada 21,08 persen mahasiswa yang menilai bahwa kegiatan kampanye melalui media OOH masih efektif. Selebihnya, mahasiswa percaya bahwa preferensi untuk menentukan pilihan mereka itu sangat dipengaruhi oleh kegiatan kampanye yang informatif dan sumber informasi kredibel.

Dalam hal ini, informasi yang disampaikan melalui debat (69,93 persen) dan seminar/edukasi (44,16 persen) menjadi dua pilihan terbanyak dari mahasiswa. Melalui debat dan edukasi, pesan para politisi itu sesungguhnya bisa dikomparasi dengan rekam jejak mereka dalam berkontribusi buat masyarakat.

Sikap mahasiswa itu juga ditunjukkan dengan pilihan mereka yang tidak memilih gimmick-gimmick politik. Mereka lebih melihat pernyataan tokoh politik (66,43 persen). Pernyataan itu didasarkan juga pada pilihan informasi yang bersumber dari informasi kredibel seperti media massa online (66,43 persen) serta televisi (47,15 persen).

Semua kesadaran para mahasiswa tersebut tentunya menjadi angin segar yang baik buat masa depan demokrasi Indonesia. Di tengah sikap permisif terhadap praktik politik uang namun kesadaran mahasiswa dalam memilih pemimpin ternyata masih didasarkan pada rasionalitas memilih. Survei Praxis Indonesia juga memperlihatkan bahwa modal popularitas dengan latar belakang public figure atau selebritis bukanlah pilihan utama, hanya 0,15 persen buat para mahasiswa.

Adanya temuan ini tentunya menjadi catatan penting bagi para politisi. Memang benar, populasi mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia masih berkisar 6 persen dari total populasi penduduk Indonesia sebanyak 278 juta jiwa.

Namun perlu diketahui juga dalam satu dekade terakhir, populasi anak negeri yang menempuh pendidikan tinggi terus bertambah dari 255,59 juta pada tahun 2015 meningkat menjadi 278,7 juta pada tahun 2023. Artinya, ketika kaum muda terdidik semakin rasional dalam memilih pemimpin maka harapan untuk melihat Indonesia menjadi lebih baik semoga bisa diraih.

Sebagaimana kata Bung Karno “beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Ya, pemuda-pemuda Indonesia yang kelak menjadi agen perubahan negeri ini adalah kaum muda terdidik dan rasional. Mereka bukanlah pemuda yang hanya bisa menjual gimmick politik, apalagi nebeng mengandalkan pamor orangtua untuk mencoba merebut kekuasaan.

Sumber

Exit mobile version