Inilah kali pertama Kapolri menerbitkan regulasi peninjauan kembali keputusan komisi etik. Hasilnya, Brotoseno dipecat dengan tidak hormat.
Publik senang, Polri pun mungkin lega.
Akan tetapi, jelas, kita tidak boleh puas dan berhenti sampai di situ. Pemecatan Brotoseno bukanlah akhir dari babak pemberantasan korupsi di institusi negara, khususnya di lembaga kepolisian.
Langkah offside yang sempat dilakukan dengan mengampuni koruptor, bahkan menampungnya lagi untuk bekerja seperti biasa di Mabes Polri, setidaknya menunjukkan bahwa sesungguhnya Polri belum betul-betul serius dalam menjalani peperangan melawan korupsi.
Kita tidak meragukan kemampuan Polri. Lembaga ini punya hampir segalanya untuk menjadi garda depan pemberantasan praktik korupsi di Tanah Air.
Aparat yang terlatih, infrastruktur yang lengkap, hingga jaringan yang luas hingga ke daerah, semua ada. Jika dibandingkan dengan KPK, misalnya, Polri unggul jauh.
Namun, mungkin persoalannya ada di kemauan dan komitmen.
Pada sisi inilah Polri harus membuktikan diri. Muruah Polri salah satunya akan ditentukan dari kemauan dan komitmen mereka memberangus kejahatan berstatus luar biasa seperti korupsi.
Rumusnya sebetulnya sederhana untuk melawan kejahatan luar biasa kita butuh komitmen yang juga luar biasa. Pada saat yang sama, penegak hukum, baik secara institusi maupun perorangan, harus menjadi yang terdepan membersihkan diri dari korupsi.