Ia menambahkan, “Memang gradasinya sekarang jadi delik aduan, tapi bagaimana mungkin seorang presiden mengadukan kasusnya ke polisi yang merupakan bawahannya? Tidak bisa ditindaklanjuti begitu ya.”
Fachrizal mengamini logika Eddy Hiariej yang menyatakan bahwa penghinaan dan kritik berbeda. Akan tetapi, pelaksanaan pasal penghinaan presiden kerap kali menyasar para pengkritik. Ia mencontohkan kasus eks dosen Unsyiah Saiful Mahdi. Mahdi sempat dipenjara gara-gara mengkritik pengelolaan kampus. Ia khawatir, pasal penghinaan presiden akan memicu kriminalisasi baru.
Oleh karena itu, Fachrizal menyarankan agar pengaturan penghinaan presiden cukup diatur dalam pasal penghinaan biasa. Ia khawatir, presiden berpotensi menyalahgunakan ketika ada rakyat yang mengkritik kebijakan yang tidak memuaskan. Ia bahkan khawatir pasal ini bisa menyasar pada kebebasan pers.
“Itu yang perlu dilihat dari praktik ya, beberapa banyak kasus kritik yang kemudian dijadikan, dimasukkan dalam kasus penghinaan. Jadi kira-kira itu ya dampak buruknya, saya kira mengulang lagi yang dulu,” tutur Fachrizal.
Menurut Fachrizal, “Jadi apalagi sekarang misalkan karikatur Tempo yang kemarin memanjangkan hidung Presiden Jokowi, ya itu bisa-bisa dilaporkan itu redaktur Tempo. Ini, kan, akan membatasi kebebasan pers juga, padahal kan itu bentuk ketidakpuasan publik kepada pemimpin,” kata dia.