Artikel

Penetapan Nilai Pajak Lingkungan Untuk Air Limbah Industri Crumb Rubber

Manusia pada hakekatnya merupakan bagian dari alam dan mempelajari apa saja yang ada di sekelilingnya (Eri Barlian dan Iswandi, 2020). Kegiatan pembangunan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, salah satunya pencemaran sungai.

Sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, selain itu sungai merupakan barang public/barang umum, sehingga perlu diatur dan dikendalikan sumber pencemar yang masuk ke sungai agar sungai tetap dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Yudo S, 2010).

Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat mengalir, pemanfaatan air sungai di hulu akan menghilangkan peluang di hilir. Pencemaran di hulu sungai akan menimbulkan biaya sosial di hilir dan pelestarian di hulu akan memberikan manfaat di hilir.

Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk pengelolaan dan pembuatan aturan agar eksternalitas negatif berupa pencemaran, serta rusak dan habisnya SDA dan jasa lingkungan dari sungai dapat ditekan atau dihilangkan.

Sesuai tujuan ke 6 (enam) SDGs yang berbunyi “Memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua”, maka target pada tahun 2030 adalah memperbaiki kualitas air dengan mengurangi polusi, menghapuskan pembuangan limbah dan meminimalisir pembuangan bahan kimia dan materi berbahaya, mengurangi separuh dari proporsi air limbah yang tidak diolah dan secara substansial meningkatkan daur ulang dan reuse yang aman secara global.

Sehingga mempertahankan dan peningkatan kualitas air sungai merupakan salah satu prioritas umum khususnya Pemerintah Indonesia. Dalam suatu perekonomian modern setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya.

Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang tidak melalui mekanisme pasar disebut dengan eksternalitas. Mangkoesoebroto (1993) membagi eksternalitas berdasarkan dampaknya menjadi dua, yaitu eksternalitas positif dan eksternalitas negatif.

Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan, misalnya seseorang yang membangun pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut.

Eksternalitas negatif apabila dampaknya bersifat merugikan bagi orang lain tetapi tidak menerima kompensasi misalnya polusi udara, air dan suara. Masalah eksternalitas dapat diatasi dengan menginternalisasi biaya eksternalitas ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga diperlukan intervensi pemerintah melalui penerapan pajak per unit produksi.

Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari eksternalitas negatif disebut dengan Pajak Pigovian (Pigovian Tax), sesuai dengan nama penciptanya yaitu Arthur Pigou (1877-1959).

Masuknya air limbah ke dalam sungai pasti akan mempengaruhi kualitas air sungai. Sebagai Kota kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatera terdapat 5 sungai besar dan 16 sungai kecil di Kota Padang dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km.

Terdapat 6 (enam) industri crumb rubber di Kota Padang, yaitu PT. Teluk Luas, PT. Batanghari Barisan, PT. Lembah Karet, PT. Kilang Lima Gunung, PT. Famili Raya dan PT. Abaisiat Raya.

Hasil penelitian Indang Dewata pada tahun 2019 menemukan bahwa 4 (empat) sungai besar di kota Padang, yaitu Sungai Kandis, Sungai Air Dingin, sungai Kuranji, dan sungai Arau tahun 2015 – 2018 berada dalam kondisi tercemar ringan dan tercemar sedang dengan indeks pencemaran berada pada range kelas 2.11 – 6.06.

Industri Crumb rubber adalah industri pengolahan karet kering yang proses pengolahannya melalui tahap peremahan. Tingginya permintaan pasar terhadap karet remah untuk dijadikan bahan pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor dan ditunjang dengan jaminan ketersediaan bahan baku, membuat perkembangan teknologi karet remah saat ini berkembang pesat.

Jumlah perusahaan karet remah Indonesia berfluktuatif atau tidak stabil pada tahun 1993 sampai dengan 2008. Namun pada tahun 2018 jumlah perusahaan karet remah Indonesia mencapai 157 perusahaan. Perusahaan karet remah Indonesia juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, lebih dari 20.000 pekerja setiap tahunnya dapat terserap.

Operasional industri crumb rubber dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Dampak positif berupa terbukanya lapangan pekerjaan, meningkatnya peluang usaha dan meningkatnya pendapatan masyarakat di sekitar pabrik sedangkan dampak negatif antara lain terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh operasional pabrik seperti bau, pencemaran air, pencemaran udara, lahan terkontaminasi limbah B3, tingkat kebisingan yang tinggi, dan lain-lain (Suligundi, 2013).

Industri crumb rubber merupakan industri pengolahan karet remah yang menghasilkan air limbah, limbah padat, limbah B3, serta emisi gas buang. Air limbah industry crumb rubber (pengolahan karet remah) dibuang ke sungai.

Operasional industri crumb rubber menggunakan 30 – 40 m3 air per ton karet untuk pencucian dan pembersihan yang nantinya akan menjadi air limbah dengan karakteristik tingkat kekotoran, kekeruhan, bahan organik yang tinggi seperti BOD5 mencapai 320 mg/L, COD mencapai 911 mg/L dan TSS mencapai 618 mg/L (Sukma Budi Ariani, 2015). Pengolahan air limbah industri crumb rubber dilakukan dengan metoda lumpur aktif.

Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk dan dimasukkanya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lainnya kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Sumber pencemar berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi sumber pencemar pada titik tertentu (point sources), dan sumber pencemar yang tersebar (nonpoint sources). Sumber pencemar titik merupakan beban pencemar keluar atau berada pada satu titik dan mudah terukur, spasial, dan bersifat local, serta karakteristiknya seragam, misalnya pencemar yang berasal dari outlet IPAL suatu industri.

Sumber pencemar yang tersebar adalah beban pencemar tersebar dari beberapa spasial, biasanya sulit terukur kuantitas dan kualitasnya, dan karakteristiknya tidak seragam seperti limpasan air dari daerah pertanian yang membawa pestisida dan pupuk (Effendi 2003).

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air disebutkan bahwa pengendalian upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air dan serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air peruntukkannya.

Dari sisi regulator, penetapan suatu standar dalam pengendalian pencemaran merupakan salah satu solusi yang cukup efektif. Standar memberikan arahan bagi pihak – pihak pelaku kegiatan untuk melakukan pengelolaan lingkungan sehingga dapat meminimalkan beban yang masuk kelingkungan yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan khususnya lingkungan perairan.

Standar – standar tersebut dapat berupa baku mutu suatu suatu air limbah (effluent), baku mutu suatu perairan (stream), dan standar pengelolaan lingkungan suatu kegiatan dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pajak lingkungan merupakan salah satu instrument yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan dan juga dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan asli daerah.

Pajak Lingkungan juga dikenal sebagai Pajak Pigou yaitu pajak yang dipergunakan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, dengan konsep setiap kegiatan yang memperparah kondisi lingkungan akan dikenakan pungutan wajib (polluter pays principle). Data Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG), menunjukkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 28 negara yang menerima pajak lingkungan sebagai bagian dari pajak negara.

Total penerimaan pajak lingkungan pada 10 negara penerima pajak tertinggi adalah India (13.4%), Korea Selatan (10.3%), Belanda (9.3%), Italia (8.8%), Afrika Selatan (8.2%), Denmark (8.2%), Republik Ceko (7.9%), Australia (7.8%), Irlandia (7.6%) dan United Kingdom (7.2%).

Pajak lingkungan dikenakan pada 9 wilayah kebijakan, yaitu: karbon dan perubahan iklim, Energi dan bahan bakar terbarukan, kendaraan ramah lingkungan, bangunan ramah lingkungan, Air, sumber material dan limbah, pencemaran dan ekosistem, inovasi serta makanan.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) yang mengatur tentang penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup. Pajak lingkungan merupakan hal yang masih baru di Indonesia.
Wacana mengenai penerapan pajak lingkungan ini sudah lama muncul, akan tetapi Pemerintah baru merespon positif mengenai penerapan pajak lingkungan tersebut pada tahun 2017 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Peraturan mengenai penerapan pajak lingkungan hidup ini kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam perkembangan hukum di Indonesia, prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) tidak hanya melingkupi instrumen ekonomi, melainkan telah masuk pada instrumen hukum.

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengadopsi prinsip pencemar membayar. Pasal 2 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 menyebutkan “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan 14 asas, salah satunya Pencemar Membayar.

Dalam sistem pajak, pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah, tetapi mereka akan dikenai sanksi membayar pajak untuk setiap unit effluent (limbah cair) misalnya dalam ton yang dibuang.

Esensi dari pendekatan pajak adalah untuk menyediakan insentif untuk para pencemar agar mereka mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi limbahnya. Dengan pajak, pencemar memiliki insentif untuk melestarikan penggunaan jasa-jasa lingkungan.

Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) dalam implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan yang berbeda yaitu command and control dan market-based. Prinsip pencemar membayar merupakan penjabaran dari teori‐teori ekonomi tentang lingkungan (environmental economics) dimana pencemaran/kerusakan lingkungan dianggap sebagai sebuah bentuk kegagalan pasar (market failure) yang menimbulkan inefisiensi.

Polluter Pays Principle (PPP) merupakan salah satu prinsip dalam menetapkan nilai pajak lingkungan. Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya.

Barry C. Field dan Martha K. Field dalam bukunya Environmental Economic pada tahun 2016 menyatakan bahwa besarnya tingkat pajak dapat ditentukan dengan mengetahui fungsi MAC dan MD. Abatement Cost merupakan biaya pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan melalui pengurangan effluent.

MAC menggambarkan biaya tambahan untuk mencapai pengurangan tingkat pencemaran sebanyak satu satuan. MD (Marginal Damage) menunjukkan perubahan kerusakan karena perubahan jumlah limbah yang dibuang. Jika tidak diketahui fungsi MD, pajak dapat ditetapkan dengan mengobservasi kualitas ambang.

Secara umum, makin rendah effluent, maka makin rendah konsentrasi ambang dari suatu polutan. Penetapan pajak pada besaran tertentu dan mengamati apakah tingkat pajak tersebut dapat memperbaiki kualitas ambang. Jika kualitas ambang tidak membaik, maka pajak dinaikkan dan sebaliknya.

Sebagai alternatif kebijakan lingkungan, pajak effluent mampu menciptakan insentif untuk mendorong kemajuan teknologi dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan. Polluter pay principle dilakukan dengan mengestimasi persamaan Marginal Abatement Cost (MAC), yaitu biaya total yang dikeluarkan oleh masing-masing industri crumb rubber dan Marginal Demage (MD), yaitu kerusakan yang diterima oleh masyarakat.

Marginal Demage (MD) ditentukan melalui pendekatan Willingness to Accept (WTA) karena MD merupakan salah satu tool yang digunakan untuk mengetahui tambahan kerusakan akibat tambahan satu – satuan konsentrasi parameter pencemar air limbah dan tambahan kerusakan ini sulit untuk dihitung (intangible).

Willingness to Accept (WTA) digunakan untuk menentukan nilai kerusakan dari barang lingkungan yang dapat diukur secara ekonomi (tangible). Masyarakat yang diambil sebagai responden merupakan masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi pabrik masing – masing industri crumb rubber dengan kriteria tertentu.

Willingness to Accept (WTA) menunjukkan seberapa kemampuan individu menerima kerusakan yang terjadi pada lingkungan. Penulis telah melakukan penelitian terhadap industry crumb rubber di Kota Padang dengan jumlah sampel responden sebanyak 463 KK dan 2227 KK Populasi disekitar pabrik.

Pengambilan sampel untuk masyarakat yang berada di sekitar lokasi industri crumb rubber dilakukan dengan teknik purposive sampling. Masyarakat yang diambil sebagai responden merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik, dengan jumlah responden dihitung dengan menggunakan rumus Slovin dengan tingkat error 10 %.

Semua biaya yang dikeluarkan oleh industri crumb rubber untuk mengolah air limbahnya mewakili kemauan membayar (willingness to pay) menjadi dasar perhitungan untuk model/persamaan dari Marginal Abatemen Cost (MAC).

Semua biaya yang dikeluarkan oleh industri crumb rubber untuk mengolah air limbahnya mewakili nilai willingness to pay (WTP) dan menjadi dasar perhitungan untuk model Marginal Abatemen Cost (MAC).

Data primer dari kesediaan masyarakat untuk menerima pembayaran sebagai kompensasi kerugian yang diterima akibat air limbah industri crumb rubber menentukan nilai Willingness to Accept (WTA) yang menjadi dasar perhitungan untuk perhitungan Marginal Damage (MD).

Berdasarkan pengeluaran sejumlah dana untuk pengelolaan air limbah ternyata industry crumb rubber di Kota Padang beberapa waktu masih memiliki outlet pollutant yang tidak sesuai dengan standar baku mutu air limbah, selain itu apabila dibandingkan standar baku mutu sungai, outlet pollutant industry crumb rubber di Kota Padang berada diatas baku mutu sungai.

Besarnya nilai marginal damage diwakili dari besaran/jumlah kompensasi yang ingin diterima oleh masyarakat sebagai ganti kerugian atas pencemaran air sungai akibat air limbah industri crumb rubber yang dibuang ke sungai. Jumlah yang diinginkan tersebut merupakan nilai dari Willingness to Accept (WTA).

Berdasarkan hasil perhitungan nidapatkan nilai WTA rata-rata sebesar Rp. 356,868.25 dan nilai WTA total sebesar Rp 794,745,593.95. Data ini merupakan data per bulan, sehingga untuk menjadikannya data per-tahun, WTA rata-rata adalah sebesar Rp. 4.390.419 dan nilai WTA Total adalah sebesar Rp. 9.777.463.113 per tahun.

Nilai baku mutu yang berlaku untuk ambien sungai ditetapkan berdasarkan PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Parameter BOD memiliki baku mutu maksimal 3 mg/L, COD baku mutunya sebesar 25 mg/L dan baku mutu parameter TSS sebesar 50 mg/L.

Hasil yang diperoleh dengan memasukkan nilai baku mutu untuk setiap parameter pencemar air limbah yang diteliti adalah didapatkan besar/nilai pajak lingkungan untuk parameter BDO ini dimulai dari Rp. 1,825,007,163.80 ; untuk parameter COD nilai pajak lingkungannya dimulai dari Rp. 2,179,134,076.25 dan nilai pajak lingkungan untuk parameter TSS dimulai dari Rp. 1,533,747,616.57.

Nilai pajak lingkungan yang harus dibayarkan masih lebih kecil dari nilai WTA total sebesar Rp. 9.777.463.113. Hal ini memberi indikasi bahwa jika pajak lingkungan ini diterapkan, maka industri crumb rubber yang ada akan berupaya untuk memenuhi baku mutu ambien tersebut salah satunya dengan perubahan teknologi pengolahan air limbah.

Hal ini didapatkan berdasarkan analisis jika konsentrasi air limbah yang dibuang masih di bawah baku mutu ambien sungai, maka perusahaan tidak diwajibkan membayar pajak. Jika melebihi, kelebihan konsentrasi masih di bawah WTA total untuk 1 mg/L konsentrasi air limbah yang terbuang.

Pihak perusahaan industri crumb rubber tidak akan mau membuang air limbah dengan konsentrasi yang jauh melebihi baku mutu karena jumlah pajak lingkungan yang dibayarkan akan sangat besar.

Ketatnya baku mutu air sungai jika dibandingkan baku mutu air limbah mengakibatkan Industri Crumb Rubber yang beroperasional di Kota Padang harus melakukan inovasi dan pembaharuan pada sistem pengolahan air limbah yang dimiliki sehingga kualitas air limbah tersebut dapat memenuhi baku mutu air sungai.

Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Padang agar dapat menerapkan penetapan pajak lingkungan terhadap air limbah industri crumb rubber di Kota Padang. Penerapan pajak ini dapat menjaga dan meningkatkan kualitas air sungai di Kota Padang dan juga dapat menjadi salah satu PAD bagi Pemerintah Kota Padang.

Artikel ini ditulis berdasarkan disertasi untuk penyelesaian S-3 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Negeri Padang dengan Tim Promotor Prof. Dr. Eri Barlian, MS dan co Promotor Prof. Dr. Indang Dewata, M.Si.

Exit mobile version