Perilaku Koruptif Kepala Desa, Seharusnya Bisa Menjadi Pelicin Pembangunan dan Bukan Kerikil Penghambat Pembangunan
Daryanti Rustiana Lestari SST SE MKes
Penulis Merupakan Aktivis Perempuan dan Politisi PDI Perjuangan
info ruang publik – Komitmen pemerintah dalam mewujudkan otonomi desa salah satunya diwujudkan dengan pemberian kewenangan pembangunan secara lokal-partisipatif kepada desa. Namun dalam praktiknya, kewenangan yang telah diberikan tersebut justru dimanfaatkan oleh sebagian kepala desa untuk korupsi.
Ada 3 (tiga) faktor perilaku koruptif kepala desa, yaitu:
1. Faktor Regulasi
UU Desa memberikan kewenangan pembangunan yang besar kepada pemerintah desa, sehingga posisi kepala desa menjadi pemimpin sentral tingkat desa yang memonopoli pembangunan desa, ditambah dengan tidak adanya lembaga tingkat desa yang face to face menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap kepala desa.
2. Faktor Pribadi Kepala Desa
Seperti adanya desakan kebutuhan ekonomi, sifat tamak, rendahnya integritas dan moralitas serta adanya tuntutan janji politik.
3. Faktor masyarakat
Tidak adanya regulasi/mekanisme yang jelas bagaimana masyarakat melakukan pemantauan, serta indikator apa yang bisa dijadikan acuan oleh masyarakat untuk menilai kinerja kepala desa, sehingga berimplikasi pada rendahnya kontrol masyarakat terhadap kepala desa.
Korupsi pada masa reformasi jauh lebih menyebar, massif dan kasusnya sangat banyak. Sedangkan korupsi pada masa Orde Baru lebih terkendali karena korupsi menjadi bagian dari korupsi Soeharto.
Sentralisasi ini menjadikan teori korupsi waralaba.
Sedangkan desentralisasi, setiap orang memanfaatkan waktu dan jabatan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Hal ini terjadi di tingkatan pusat dan daerah di semua lembaga tinggi negara.
Sekiranya dikaitkan dengan pergeseran pemaknaan tindak pidana korupsi dari kejahatan biasa menjadi kejahatan luar biasa.