5 Pelanggaran Etika Pemilu, Romo Magnis: Presiden yang Memakai Kekuasaan untuk Keluarganya “Memalukan”
info ruang publik – Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kembali digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli dan saksi yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Salah satu ahli yang diajukan Ganjar-Mahfud adalah Frans Von Magnis atau yang akrab disapa Romo Magnis. Dalam paparannya, Romo Magnis membeberkan lima pelanggaran etika dalam kaitan dengan Pemilu 2024. Berikut penjelasannya:
a. Pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum
Menurut Romo Magnis, pendaftaran Gibran sebagai cawapres oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sudah dinilai sebagai pelanggaran etika berat. Karena pendaftaran itu dilakukan meskipun Majelis Kehormatan MK menetapkan Keputusan MK yang memungkinkan Gibran menjadi cawapres sebagai pelanggaran etika yang berat.
“Sudah jelas. Mendasarkan diri pada keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika yang berat merupakan pelanggaran etika yang berat sendiri. Penetapan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat,” kata Romo Magnis.
b. Keberpihakan Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2024
Menurut Romo Magnis, presiden boleh saja memberi tahu bahwa dia mengharapkan salah satu calon menang.
“Tetapi begitu dia memakai kedudukannya, kekuasaannya, untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain, untuk mendukung salah satu paslon serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, dia secara berat melanggar tuntutan etika bahwa dia tanpa membeda-bedakan adalah Presiden semua warga negara termasuk semua politisi,” ujarnya.
c. Nepotisme
Menurut Romo Magnis, kalau seorang Presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan. Sebab, hal itu membuktikan bahwa dia tidak mempunyai wawasan Presiden ‘hidupku 100% demi rakyatku’ melainkan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya.
d. Pembagian bantuan sosial
Romo Magnis mengatakan, bansos bukan milik Presiden, melainkan milik bangsa Indonesia yang pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian yang bersangkutan dan ada aturan pembagiannya.
“Kalau Presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi itu pencurian ya pelanggaran etika,” kata Romo Magnis.
“Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika dasarnya tentang jabatan sebagai Presiden bahwa kekuasaan yang dia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani seluruh masyarakat,” lanjutnya.
e. Manipulasi-manipulasi dalam pemilu
Romo Magnis bilang kalau proses pemilu dimanipulasi itu merupakan pelanggaran etika berat. Ini karena merupakan pembongkaran hakekat demokrasi.
“Misalnya waktu untuk memilih diubah atau perhitungan suara dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Praktik semacam itu memungkinkan kecurangan terjadi yang sama dengan sabotase pemilihan rakyat. Jadi suatu pelanggaran etika yang berat,” ujar Romo Magnis.
Tim Pembela Prabowo-Gibran
Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran Hotman Paris Hutapea mempertanyakan pernyataan Romo Magnis yang menyebut ada lima pelanggaran etika yang terkait dengan Pemilu 2024. Salah satunya adalah pembagian bantuan sosial (bansos). Hotman Paris mempertanyakan metafor Romo Magnis yang mengibaratkan Jokowi layaknya pencuri.
“Tadi Romo mengatakan bahwa Presiden seperti pencuri di kantor ngambil duit dibagi-bagikan. Presiden mengambil uang bansos untuk dibagi-bagikan. Apakah romo mengetahui bahwa bansos yang dibagikan itu sudah ada datanya berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan PPPKE (Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem),” ujar Hotman.
Menurut dia, data penduduk penerima bansos sudah ada. Presiden hanya simbolik membagikan bansos di awal sesuai data yang sudah ada di kementerian masing-masing.
“Selanjutnya dilanjutkan kementeriannya. Jadi Presiden tidak pernah membagikan bansos di luar. Data yang sudah ada data DTKS dan PPPKE,” kata Hotman.
“Dari mana Pak Romo tahu bahwa Presiden itu seolah mencuri dari uang bansos untuk dibagi-bagikan padahal Pak Romo tidak tahu praktik pembagian data itu sudah ada lengkapnya,” lanjutnya.
Pengakuan Saksi Ganjar-Mahfud
Sejumlah saksi yang diajukan Tim Ganjar-Mahfud pun memaparkan sejumlah kejanggalan yang mereka temukan. Saksi Hairul Anas Suaidi mengaku menemukan suara yang tak bisa dipercaya di Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Hairul mengatakan jumlah suara tak bisa dipercaya itu mencapai 23 juta.
“Saya lihat ada perubahan sebanyak 443.453 kali (perubahan tabulasi dan dokumen C1) terhadap data yang pernah diinput,” kata Hairul. “Kemudian itu terjadi di sekitar 244.533 TPS, artinya ada perubahan dalam data Sirekap,” sambung dia.
Hairul mengaku dirinya telah melakukan pengecekan jumlah suara pasangan nomor urut 1, 2 dan 3. Dia mengatakan hasilnya ada 23.423.395 suara yang tak dapat dipercaya.
“Cukup fantastis di sini, seandainya kalau C1 itu ada tanggal ya, adalah tanggal di fotonya C1 atau C hasil, maka di situ yang melewati tanggal 15 (Februari) ada 324 ribu kalau nggak salah. Jadi ada upload foto yang sebenarnya diambil fotonya sudah lewat tanggal 15,” paparnya.
“Itu bisa dilihat ada perbedaan suara sah yang fatal, 23 juta lebih, sehingga saya bisa mengatakan ada kemungkinan suara yang tidak dapat dipercaya itu ada sekitar 23-38 juta,” lanjut dia.
Hairul mengambil satu sampel saat progres TPS sekitar 64,14 di Sirekap. Dia mengatakan saat itu jumlah suara yang sudah dipercaya mencapai 43 juta.
“Itu total suara paslon saya total 1, 2, 3, itu 77 juta sekian, kalau diproyeksikan 100% anggaplah merata ya angka itu dan masuk secara acak maka proyeksi 100%-nya itu hanya 120 jutaan kira-kira. Tapi dalam pengumuman kan ada 164 juta pada akhirnya, jadi ini yang keliru yang mana gitu kan?” ungkap dia.
“Jadi ada potensi yang sudah dipercaya 43 juta,” lanjut dia.
Selain itu, katanya, ada keanehan dari pengguna hak pilih dan suara keseluruhan. Dia menyebut kurang lebih ada 33 ribu TPS di mana jumlah pengguna hak pilih dan total suara tidak sama.
“Jadi total suara total itu harusnya adalah penjumlahan suara sah dan suara tidak sah, itu harusnya sama tapi terjadi ketidaksamaan,” tuturnya.

Saksi lainnya, Suprapto, menunjukkan karung beras yang ditempel stiker bergambar pasangan capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Suprapto mengatakan beras tersebut diperoleh dari Kepala Lingkungan rumahnya di Medan, Sumatra Utara.
Suprapto mulanya mengatakan Kepala Lingkungan mendatangi rumahnya pada 20 Januari 2024 pukul 15.00 WIB. Dia mengatakan Kepala Lingkungan itu diterima oleh istrinya. Suprapto mengatakan Kepala Lingkungan itu membawa karung beras yang ditempel gambar Prabowo-Gibran.
“Kepling lingkungan 1, Pak, yang bernama Supriyadi, menyatakan ‘Ini ada beras, bansos, tapi nanti untuk 02 ya jangan lupa ya’,” kata Suprapto.
Suprapto mengaku dirinya langsung emosi mendengar pernyataan Kepala Lingkungannya. Suprapto mengaku langsung menegur Kepala Lingkungan itu.
“Bapak tidak setuju dan nggak diterima?” tanya Suhartoyo.
“Karena saya mantan pengurus PAC PDIP Medan. Saya keluar dari kamar menemui Kepling lingkungan 1, ‘Kamu jangan paksa-paksa’, langsung Kepling pergi dari rumah saya,” jelas Suprapto.
“Akhirnya diterima nggak?,” tanya Suhartoyo.
“Ini (beras) sudah ditinggal, Pak, keluar saja langsung meninggalkan rumah,” kata Suprapto.
Suprapto lalu menunjukkan beras yang diberikan Kepling itu dalam persidangan. Karung beras itu berwarna kuning hijau dan terdapat stiker bergambar animasi Prabowo-Gibran dengan baju biru. Terlihat ada tulisan ‘Prabowo-Gibran’ di stiker itu.
Selain itu, Suprapto menuturkan ada pula tetangganya yang mendapatkan amplop berisi uang Rp 50 ribu. Namun, kata dia, Kepling itu tidak membagikan amplop kepadanya usai ditegur saat memberikan beras.
“Jadi yang bagikan Kepling, tapi Kepling tidak lagi singgah ke rumah saya, demikian yang saya sampaikan saya sudah disumpah,” kata Suprapto.
“Kan sudah disumpah tadi pagi,” ujar Suhartoyo.
“Ya menurut agama saya, percaya ke agama saya, Pak,” tutur Suprapto.
Hakim pun bertanya ada atau tidak arahan ke tetangganya yang menerima amplop berisi Rp 50 ribu itu. Suprapto mengaku tidak tahu.