“Dengan demikian, begitu ada guru pindah atau pensiun yang posisinya menjadi kosong, badan tersebut bisa langsung melakukan redistribusi atau menempatkan guru,” imbuh Ratna.
Ratna menyatakan bahwa ia memahami mekanisme perekrutan melalui marketplace berfungsi memangkas birokrasi seleksi guru. Namun, menurutnya hal itu baru dalam tingkat gagasan saja, kendala dan risiko banyak muncul di benak para guru.
“Perlu dipertimbangkan apakah kewenangan perekrutan guru melalui marketplace ini benar-benar ada di tangan kepala sekolah. Bagaimana risiko terjadinya nepotisme, atau bahkan pungli terkait hal tersebut,” ungkap Ratih.
Ratna juga khawatir jika ‘marketplace’ akan melahirkan persaingan tidak sehat dan tidak berkeadilan antar sekolah maupun antar guru. Mekanisme pasar, jelas Ratna, akan membuat sekolah yang memiliki anggaran besar dapat dengan leluasa memilih guru, namun tidak dengan sekolah dengan anggaran kecil.
“Malahan, bisa jadi para guru ini nanti terpaksa harus beli jasa SEO (Search Engine Optimization) supaya nama mereka muncul paling atas di setiap pencarian guru oleh sekolah pada platform marketplace tersebut,” jelas Ratna.