“Kita tahu Pak SBY orang Pacitan, Pak Boediono [orang] Blitar, kurang lebih bertetangga, sama-sama Jawa Timur, Jatimnya daerahnya mataraman, bukan tapal kuda, secara tradisional dalam istilah ilmu politik lama itu (mataraman) daerah abangan, atau daerah priayi, bukan daerah santri, daerah santri ini banyak orang NU, ya, daerah tapal kuda,” urai Saiful dalam diskusi bertajuk ‘Cawapres Penting untuk Elektabilitas Capres?’ dikutip dari kanal Youtube SMRC TV.
Meski tidak mempertimbangkan aspek sosiologis, kata dia, pasangan SBY-Boediono justru memenangkan kontestasi satu putaran. SBY, lanjut Saiful, memilih Boediono atas dasar kompetensi.
Sementara pada Pilpres 2019, petahana Joko Widodo mengambil wakilnya Ma’ruf Amin. Kala itu, publik tidak ada yang membayangkan parpol koalisi Jokowi akan menggaet Ma’ruf.
“Kita lihat hasilnya, pasangan ini memenangkan Pilpres 2019, bahkan Pak Jokowi tidak bisa terlalu banyak berharap dari kampung Pak Ma’ruf Amin sendiri dari Banten, di Banten pasangan ini kalah telak, artinya unsur wakil tidak terlalu penting nampaknya, bila melihat dari dua kasus ini,” kata dia.
Jelang Pemilu 2024 ini, SMRC melakukan eksperimen terhadap tiga nama yang dianggap cukup kompetitif. Ketiga nama tersebut antara lain: Ganjar, Prabowo, dan Anies. Dari tiga nama tersebut tidak ada satu pun yang memiliki elektabilitas mencapai 50 persen. Oleh karena itu, semua kandidat berharap ada kenaikan elektabilitas dari sosok yang mendampingi mereka.