“Secara psikologis, praktik jual beli suara itu secara psikologis akan membuat mereka ‘merasa di atas awan’ karena yang dipikir adalah kemenangan yang pasti. Secara peluang, praktik jual beli suara itu juga bagian dari menjaga elektabilitas dan menjaga jarak dengan rival lainnya,” kata Wasisto.
Wasisto menekankan bahwa strategi politik transaksional tidak sepenuhnya berhasil. Ia beralasan, ada pemilih yang menggunakan pendekatan rasional dan mereka kerap menolak praktik transaksional. Kelompok ini rerata berada di perkotaan dan kelompok menengah.
“Ada pula segmen pemilih ideologis yang lebih mementingkan ideologi. Maupun juga pemilih loyalis yang sudah melabel diri pendukung A atau B sejak jauh-jauh hari. Namun demikian, para kontestan cenderung menyamaratakan pemilih sebagai pemilih yang pragmatis sehingga jual beli suara masih lanjut,” kata Wasisto.
Wasisto menilai, politik berbiaya tinggi dan politik transaksional sulit dihapus karena sudah menjadi kultur politik. Selain itu, ikatan partisan lemah antara pemilih dan pelaku juga terbentuk sebagai pemilih idealis.