Zaenur melihat ada sejumlah metode spesifik yang dilakukan. Pertama, Bahat menggunakan anggaran SKPD dan memanipulasi untuk membuat kegiatan fiktif hingga markup. Kedua, SKPD diminta menjadi pengumpul dana dari pihak swasta yang meminta perizinan.
“Biasanya ya bentuknya persentase dari nilai pekerjaan yang dilaksanakan oleh swasta itu diminta untuk dikembalikan dalam bentuk suap atau gratifikasi. Misalnya ada yang 7%, 10% 12% gitu ya. Jadi yang kedua adalah cara seperti itu,” kata Zaenur.
Modus ketiga adalah dengan meminta uang tertentu pada pejabat SKPD. Uang tersebut merupakan biaya untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan.
“Jadi siapa-siapa setiap pegawai atau pejabat di daerah yang ingin menduduki jabatan tertentu, itu harus menyetor sejumlah uang kepada kepala daerah,” kata Zaenur.
Zaenur menilai, kasus yang terjadi di Kapuas tidak lepas dari masalah high cost politic atau politik berbiaya tinggi. Modus ini, kata Zaenur, lazim dilakukan kepala daerah korup yang ingin maju dalam pemilu maupun pilkada.