Dalam audit ditemukan, semua peserta pemilu melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye tidak dalam bentuk uang tunai, tapi dalam bentuk barang dan jasa yang jumlahnya bisa lebih besar dari yang dilaporkan karena tidak termonitor dan terverifikasi dalam rekening koran.
Dosen FEB Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya itu juga menyebutkan, parpol pada umumnya melaporkan penerimaan dalam bentuk sumbangan barang dan jasa sesuai dengan batasan sumbangan yang diperbolehkan, padahal jumlah sebenarnya bisa lebih dari yang dilaporkan.
Dia mencontohkan, salah satu peserta pemilu menerima sumbangan dalam bentuk kaus, spanduk, biaya percetakan, dan jasa penyanyi pada saat kampanye terbuka. Sumbangan ini diterima hanya dengan bukti dokumen kwitansi pembelian barang dan pembayaran jasa saja yang nilainya rawan dimanipulasi.
“Manipulasi data sumbangan kampanye akan sulit dilakukan jika seluruh penerimaan dana kampanye termasuk dalam bentuk barang dan jasa masuk ke rekening bank terlebih dahulu. Setelah dana masuk baru bisa dikeluarkan untuk belanja barang dan jasa,” ujar Fiantonius.
Sistem pengawasan yang ada saat ini juga belum melibatkan publik untuk ikut mengawasi. “Laporan akhir penggunaan dana kampanye hanya diunggah setelah diaudit oleh akuntan publik independen di laman KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang proses pelaporannya masih tertutup,” ujarnya.