Pemecatan Hakim MK, DPR Dinilai Langgar Konstitusi Serta UU
info ruang publik – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai sudah melanggar konstitusi serta UU No 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam pemecatan hakim konstitusi Aswanto. Alasannya, dalam UUD 1945, DPR cuma mengajukan 3 nama anggota hakim MK, bukan diajukan dari DPR.
“Ini jelas melanggar UUD, UUD telah tegas mengendalikan jika 3 lembaga (Presiden, DPR serta MA) ini mengajukan, diajukan oleh, bukan diajukan dari. Hal ini senantiasa kita gambarkan, apa beda oleh serta dari, oleh itu hanya merekrut, jadi bukan dari dalam,” ucap mantan Pimpinan MK Jimly Asshiddiqie usai berjumpa Sekjen MK Guntur Hamzah di Gedung DPR, Jakarta, Sabtu (1/10/2022).
“Sehingga tidak dapat dipersepsi orang yang diseleksi oleh DPR itu orangnya DPR, semacam tercermin dalam statement dari anggota Komisi III DPR. Ini orang kita kok, membatalkan UU yang kita buat, nah itu salah, salah paham,” tutur Jimly.
Tidak hanya melanggar UUD 1945, kata Jimly, DPR pula melanggar Pasal 23 ayat( 4) UU MK terpaut pemberhentian hakim MK. Bila merujuk syarat tersebut, pesan pemberitahuan pemberhentian hakim bukan berasal dari DPR ataupun lembaga pengusul, namun senantiasa wajib dari MK.
“Jadi jika tidak terdapat surat dari MK tidak bisa diberhentikan. Serta memberhentikannya itu terdapat sebab- sebab yang telah diatur dalam UU, semisal diberhentikan, wafat, mengundurkan diri ataupun berakhir masa jabatan,” ungkap Jimly.
Bagi Jimly, MK lah yang sepatutnya mengirimkan surat pemberitahuan kekosongan jabatan hakim konstitusi sebab-sebab yang legal oleh UU. Setelahnya, lembaga pengusul, baik presiden, DPR serta MA dapat melaksanakan pemilihan calon hakim MK buat mengisi kekosongan jabatan hakim tersebut.
“Nah lagi pula surat pemberitahuan dari MK ke lembaga DPR mengenai kekosongan jabatan belum ada. Itu sebagai dasar untuk lembaga-lembaga terkait agar mengambil tindakan mengadakan pemilihan dan pemilihannya pun menurut UU ada 4 syaratnya, harus partisipatif, akuntabel, transparan dan harus objektif dan itu tidak ada,” pungkas Jimly.