Kasus Pemaksaan Jilbab di Sekolah Masif, Kemendikbud Bisa Apa?

0
Showing 5 of 6

“Menurut saya Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 itu sebenarnya sudah mengakomodir sekolah di Indonesia. Jadi agar tidak ada lagi pemerintah daerah maupun sekolah yang melakukan kasus seperti ini lagi,” tuturnya.

Satriwan menuturkan tidak seharusnya seragam sekolah negeri dikembalikan seperti dahulu karena rentan didiskriminasi. Ia menjelaskan sejarah seragam sekolah mulai dari kepemimpinan Presiden Sukarno atau orde lama. Para siswa masih menggunakan baju dan celana pendek di atas lutut. Sementara perempuan baju dan rok di bawah lutut.

Kemudian memasuki era kepemimpinan Soeharto atau orde baru, masih serupa. Akan tetapi, memasuki tahun 1970-an, pemerintah melakukan kebijakan yang diskriminatif dengan melarang seorang siswa muslimah mengenakan hijab. Namun pada era 1990-an, kata dia, dengan adanya kedekatan Soeharto dengan kelompok Islam, akhirnya pemerintah mengakomodir aspirasi politik dengan mengizinkan siswa sekolah mengenakan hijab.

Memasuki era reformasi, semua kelompok mulai terakomodir sampai lahirnya Permendikbud 45/2014. Oleh karena itu, dia mendorong agar pemerintah daerah dan sekolah menerapkan Permendikbud 45/2014 seperti mencantumkan contoh pakaian apa saja yang diperbolehkan di sekolah.

“Soal ini acuannya Permendikbud [45/2014], ini tidak bisa memaksa, harus ada opsi yang mengakomodir. Kami mengimbau jika ada indikasi pemaksaan atau pelarangan, siswa dan orang tua harus speak up,” kata dia.

Respons Kemendikbud, Disdikpora DIY, dan Disdik DKI

Terkait kasus ini, Kemendikbudristek menegaskan pemaksaan seorang perempuan mengenakan hijab di sekolah negeri bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Plt Karo Humas Kemendikbudristek, Anang Ristant menjelaskan, berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU 20/2003, di mana pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif.

Showing 5 of 6
Exit mobile version