SETARA Institute juga ingin menyampaikan catatan kepada Mahkamah Agung. Menurut Halili, Putusan MA yang membatalkan SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada SD DAN SMP pada Mei tahun lalu, “Nyata-nyata memberikan efek buruk bagi agenda-agenda penguatan kebinekaan di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.”
Kasus yang Selalu Berulang
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim juga mengkritik kasus tersebut. Ia menjelaskan kasus seperti ini bukan hanya baru-baru ini, melainkan sudah sering terjadi dan hampir tiap tahun terjadi.
Misalnya adanya dugaan seorang siswi non-muslim dipaksa memakai jilbab oleh pihak sekolah SMA Negeri 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu (Rohul) Riau pada 2018. Kemudian juga terjadi di SMK Negri 2 Padang, Sumatera Barat pada 2021.
Tak hanya itu, larangan bagi pelajar perempuan mengenakan hijab juga terjadi di sejumlah daerah. Seperti SDN Nomor 070991 di Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara pada Juli 2022. Kemudian juga di SD Inpres 22 Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
“Ini menjadi catatan buram pendidikan nasional karena terus terjadi. Ini penyakit yang terjadi setiap tahunnya,” kata Satriawan.
Melihat kejadian yang terus berulang itu, kata Satriwan, tidak bisa hanya guru yang disalahkan. Tetapi pemerintah daerah juga harus disoroti.
Seperti dalam beberapa kasus yang terkadi, kata dia, pemaksaan penggunaan hijab bagi seorang pelajar perempuan dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat melalui surat edaran dan juga imbauan dengan dasar kearifan lokal.