Sementara pasal subsidair yang diterapkan ialah Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Perkara ini bermula ketika tahun 2011-2019 PT Krakatau Steel (Persero) melakukan pengadaan pembangunan pabrik tanur tiup (blast furnace complex/BFC) yaitu pabrik yang melakukan proses produksi besi cair dengan menggunakan kokas (bahan bakar berkadar karbon tinggi dan berkadar pengotor rendah, yang dibuat dengan cara memanaskan batu bara tanpa udara).

Tujuannya yaitu memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, sebab dengan menggunakan bahan bakar gas, maka biaya produksi lebih mahal.

Direksi PT Krakatau Steel (Persero) pada tahun 2007 menyetujui pengadaan pembangunan pabrik tanur tiup dengan bahan bakar kokas dengan kapasitas 1,2 juta ton/tahun.

Nilai kontrak pembangunan tanur tiup PT Krakatau Steel dengan sistem terima jadi (turn key) sesuai dengan kontrak awal Rp4,7 triliun hingga adendum keempat membengkak menjadi Rp6,9 triliun.

Kontraktor pemenang dan pelaksana yaitu Metallurgical Corporation of China Ltd-Capital Engineering & Research Incorporation Ltd (MCC CERI) konsorsium dengan PT Krakatau Engineering.

“Dalam pelaksanaan perencanaan, tender/lelang, kontrak, dan pelaksanaan pembangunan, telah terjadi penyimpangan.

Hasil pekerjaan BFC saat ini mangkrak karena tidak layak dan tidak dapat dimanfaatkan dan terdapat pekerjaan yang belum selesai.

Akibatnya, diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar nilai kontrak Rp6,9 triliun,” jelas Ketut.

1 2
Exit mobile version