“Kalau tim gabungan isinya adalah semua polisi, ya, sama saja bohong.” Kenapa? Karena bisa saja ada konflik kepentingan dalam penggalian fakta. Bila penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan ini lancar, maka semestinya bisa mencapai tahap persidangan. Bila almarhum terbukti sebagai pelaku, maka kasus ditutup karena ia tewas, sebaliknya jika almarhum sebagai korban, maka Bharada E harus diperiksa.
Polisi pun mengautopsi jenazah Nofryansyah sebelum diserahkan kepada keluarganya, kata dia, mestinya autopsi itu membutuhkan persetujuan pihak keluarga. Apalagi jika kepolisian melarang keluarga almarhum melihat kondisi mayat.
Semua itu menambah keraguan publik. Sebab bukan hanya kasus ini saja polisi melarang melihat jenazah. “Kapolri, jika ingin nama institusi kepolisian bersih, maka harus berani mengusut tuntas dan Kadiv Propam ini dinonaktifkan,” tutur Fachrizal.
Fachrizal mengingatkan agar kepolisian transparan dalam mengusut dan menginformasikan temuan ini secara transparan kepada publik. Tak hanya masyarakat awam yang menilai kejanggalan, bahkan setingkat menteri pun menyebut penembakan ini penuh keanehan.
“Kasus ini memang tak bisa dibiarkan mengalir begitu saja karena banyak kejanggalan yang muncul dari proses penanganan, maupun penjelasan Polri sendiri yang tidak jelas hubungan antara sebab dan akibat setiap rantai peristiwanya,” kata Menko Polhukam Mahfud MD.
Sementara itu, Sekretaris Kompolnas, Benny Mamoto menyatakan, upaya membentuk tim gabungan sebagai bentuk transparansi Korps Bhayangkara. “Langkah ini diharapkan bisa memastikan bahwa proses penyidikan yang dilaksanakan sesuai dengan aturan, objektif. Semua analisis (serta) kesimpulan itu berdasarkan fakta lapangan yang sudah teruji,” kata dia.
Keterujian itu bisa ditempuh melalui investigasi berbasis ilmiah, para ahli, juga mengkroscek kesaksian. Benny berharap semua isu dapat dibuat terang dan dapat dikaitkan dengan temuan di lapangan, sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi akurat, dipercaya, serta dipertanggungjawabkan.