Dekrit 5 Juli dan Demokrasi Terpimpin
Guntur Soekarno Pemerhati Sosial | Opini
info ruang publik – Ketika Konstituante hasil Pemilu 1955 tidak berhasil membentuk undang-undang dasar negara, kondisi ketatanegaraan menjadi vakum dan stagnan. Lobi intensif yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden kepada ketua-ketua partai politik ternyata tidak dapat mencairkan situasi karena partai-partai politik berkukuh kepada pendapat masing-masing. Masalah yang menjadi penyebab ialah persoalan klasik yang muncul kembali, yakni pilihan antara bentuk negara kebangsaan atau negara agama dalam hal ini negara Islam.
Masalah tersebut sebenarnya sudah selesai tuntas sedemikian rupa sehingga RI sudah mempunyai UUD 45 yang diresmikan pada 18 Agustus 1945. Di Konstituante partai-partai pengusung pemilu terbelah menjadi dua kubu; kubu kebangsaan didukung antara lain PNI Front Marhaenis, PKI, IPKI, Partai Katolik, dan Partindo. Kubu negara Islam didukung partai-partai Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII, dan Perti.
Dalam proses voting hasilnya juga tidak ada yang memenuhi persyaratan, yaitu kemenangan yang diperoleh kubu kebangsaan sangat tipis dengan perolehan suara kubu negara Islam sehingga selalu terjadi deadlock. Kondisi itu berlarut-larut sehingga terjadinya gerakan separatisme PRRI/Permesta yang membuat Presiden harus mengumumkan negara dalam keadaan bahaya (SOB). Dengan adanya kondisi demikian, akhirnya Bung Karno mengambil keputusan karena kebuntuan tersebut harus segera dipecahkan. Jalan satu-satunya ialah dengan melakukan dekrit presiden untuk kembali kepada UUD 1945 (UUD 18/8/1945). Dengan dukungan penuh dari TNI dan Polri, Presiden pada 5 Juli 1959 mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD Revolusi, yaitu UUD 1945.