“Dampaknya jika presidennya mudah baper atau mudah tersinggung ketika orang mengkritik jabatannya, ya dengan mudah dia melakukan pelaporan dan mengkriminalkan. Karena penghinaan ini, kan, sangat subjective delict,” kata Isnur.

Melanggar Prinsip Dekolonialisasi

Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menilai, upaya pengesahan pasal penghinaan presiden melanggar prinsip dekolonialisasi dalam hukum pidana Indonesia. Ia mengingatkan esensi pasal penghinaan presiden mengambil dari pasal penghinaan ratu dan presiden di hukum Belanda. Penghidupan kembali pasal penghinaan presiden justru berlawanan dengan semangat dekolonialisasi.

“Dulu penghinaan dilarang untuk ratu dan raja sekarang diganti ke presiden. Lah, katanya dekolonialisasi menghilangkan unsur colonial, tapi kok ngotot gitu loh? Jadi benar nggak semangat dekolonialisasi ini ada dalam KUHP? Kalau ini tetap dipertahankan, maka dekolonialisasi yang mana, apalagi Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal ini,” kata Fachrizal.

Fachrizal pun menyindir pandangan Eddy Hiariej yang menyebut orang-orang yang salah berpikir dalam menjawab kelompok kontra pasal penghinaan presiden. Ia menilai Eddy Hiariej secara tidak langsung menyalahkan logika Mahkamah Konstitusi yang menghapus pasal tersebut.

“Jadi kenapa kok ngotot itu juga apa namanya aneh kalau kita disebut salah berpikir, lah keputusan Mahkamah Konstitusi itu apa juga salah, gitu ya?” kata Fachrizal mempertanyakan.

1 2 3 4 5 6
Exit mobile version