“Jelas ini menandakan karakter pemerintah dan DPR yang menunjukkan gejala-gejala otoritarian, gejala-gejala yang tidak demokratis, gejala-gejala yang tidak menghendaki adanya prinsip equality before the law di mana Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan adanya persamaan posisi hukum antara presiden dengan warga negara,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (29/6/2022).

Isnur juga mengkritik pernyataan Eddy Hiariej yang tidak melihat situasi dalam pelaksanaan regulasi penghinaan presiden. Saat ini, aparat penegak hukum kerap kali menafsirkan kritik sebagai penghinaan. Hal itu sudah menyasar beragam elemen masyarakat.

“Problemnya, kan, tafsir atas ‘kata penghinaan’ tersebut. Selama ini secara empiris terbukti bahwa kritik sangat sering dianggap penghinaan. Sudah sangat jamak, teman-teman BEM, aktivis dan lain-lain yang dalam kapasitas mereka adalah kritik dengan berbagai medium dianggap menghina dan dikriminalisasi,” kata Isnur.

Oleh karena itu, Isnur menilai, tidak perlu ada pengaturan khusus pasal baru. Ia mengingatkan, pertama, pasal penghinaan presiden sudah dihapus oleh MK sehingga tidak perlu disinggung lagi. Kedua, presiden juga bagian dari masyarakat sehingga tidak perlu mengatur secara spesifik. Ketiga, pasal penghinaan presiden merupakan pasal warisan kolonial.

Apabila pasal penghinaan presiden tetap disahkan, ia khawatir ada kriminalisasi di masa depan.

1 2 3 4 5 6
Exit mobile version