Utilisasi Teknologi dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia, Dosen Siap Berubah?

0
Showing 3 of 5

Fenomena itu membuat rasa penasaran saya semakin kuat untuk meneliti; apakah literasi digital (kompetensi seorang individu dalam menggunakan perangkat digital untuk mencari, menggunakan, membuat dan menyebarkan informasi) dosen dalam konteks belajar-mengajar secara daring memiliki korelasi dengan bagaimana para dosen menakar kemampuan mereka dalam merancang kelas daring selama pandemi berlangsung. Partisipan studi itu terdiri 275 dosen dari baik PTN maupun PTS yang aktif mengajar dan sudah memiliki jenjang akademik.

Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara kompetensi literasi digital seorang dosen dan keyakinan bahwa dirinya mampu merancang kelas berbasis daring. Hasil studi juga menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran daring yang dilaksanakan dengan minimnya persiapan pada saat itu, 69,5% dosen partisipan studi lebih menguasai penggunaan media video conference dalam mengajar dan hanya 30,5% memilih menggunakan learning management system (LMS) sebagai media belajar-mengajar.

Praktik pembelajaran daring yang terjadi di Indonesia masih jauh dari idealisme berbagai teori distance education–yang dicetuskan pertama kali oleh Charles Wedemeyer dengan istilah independent study. Kemudian dilanjutkan Boerje Holmberg (1961) yang memperkenalkan teaching by correspondence, Otto Peters (1966) yang mempertajam kajian Holmberg menjadi istilah distance education, dan Michael Graham Moore (1991) yang mencetuskan transactional distance theory. Namun, pergerakan dosen dalam mengadopsi teknologi di masa pandemi ini menjadi sebuah titik terang awal bagi penyelenggara pendidikan tinggi untuk berupaya keluar dari zona nyaman, berpikir kreatif, dan fleksibel dalam ekosistem pendidikan daring yang dipercaya memiliki potensi untuk menjadi masa depan pendidikan tinggi Indonesia di waktu yang akan datang.

Showing 3 of 5
Exit mobile version