Selain itu, Mahkamah juga menilai tiga pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena suatu pernyataan, pendapat, maupun pikiran rentan ditafsirkan sebagai kritik atau penghinaan.

Selain itu, produk hukum kolonial Belanda itu juga dinilai bisa menghambat hak menyatakan pikiran, tulisan, ekspresi, dan sikap masyarakat.

“Tatkala ketiga pasal pidana yang dimaksud selalu digunakan aparat penegak hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan,” ujar Sandrayati.

Dihidupkan Kembali di RKUHP

Meski sudah dicabut MK, saat ini terdapat upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP.

Penghinaan terhadap dua pucuk pimpinan pemerintah itu sebelumnya diatur di dalam Pasal 134. Namun, sekarang diubah dan dituangkan dalam Pasal 218 dan 219.

Dalam draf RKUHP 2019, DPR menggunakan diksi penyerangan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden.

“Definisi penyerangan yang dimaksud masih belum jelas,” ujarnya.

1 2 3
Exit mobile version