Kelemahan omnibus

Sebagai sebuah metode, omnibus merupakan sesuatu yang halal sebab metode hanya menyangkut cara, bukan soal substansi UU. Sepanjang cara atau metode tersebut dapat mengantarkan proses pembentukan peraturan perundang-undangan pada sebuah produk peraturan yang sesuai dengan kebutuhan hukum bernegara, ia dapat diterima. Sampai batas ini, menolak langkah yang ditempuh pembentuk undang-undang untuk mengadopsi metode omnibus dalam perubahan UU PPP tentu tidak diperlukan.

Walaupun demikian, sebuah metode berkaitan erat dengan apa yang hendak dicapai dari penggunaannya. Validitas metode akan diuji dari sejauh mana ia mampu mengantar objek yang dihasilkannya juga valid. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, validitasnya akan diukur dengan sejauh mana peraturan itu tidak menyimpang dari batasan yang ditentukan konstitusi dan kepentingan hukum masyarakat yang diaturnya. Pada aras ini, debat ihwal legalisasi omnibus itu akan sulit dihindari.

Dalam perspektif harmonisasi peraturan perundang-undangan dan kemudahan bagi pemerintah dalam menerapkan peraturan, metode ini akan bernilai positif. Sebaliknya, bagi kepentingan negara hukum yang mengharuskan adanya pembatasan ketat terhadap kekuasaan, metode ini memiliki sisi lemah yang sulit ditutupi sebab dengan mengatur satu jenis masalah tertentu yang mencakup berbagai aspek kehidupan bernegara dalam satu undang-undang, akan terjadi penurunan kualitas dari produk perundang-undangan itu sendiri. Hal itu disebabkan karena tidak fokusnya masalah yang dibahas, berkurangnya partisipasi publik akibat friksi berbagai kelompok masyarakat dalam menilai keberadaan UU, dan juga menurunkan perhatian pada aspek kepentingan hukum masyarakat lemah.

Pengalaman pembentukan UU Cipta Kerja merupakan contoh nyata. Melalui UU Cipta Kerja diubah sebanyak 78 UU. Dengan materi yang demikian banyak, fokus perhatian publik dalam memberikan masukan juga terbelah sehingga perhatian hanya tertuju pada beberapa aspek substansi yang dinilai memiliki dampak luas seperti masalah ketenagakerjaan. Adapun materi lainnya, sekalipun tetap mendapat respons, nyaris tidak mendapatkan perhatian mendalam.

Pada ranah ini, upaya mengadopsi metode omnibus tidak cukup hanya melegalisasinya melalui perubahan UU PPP, tetapi juga harus disertai dengan garansi bahwa ia tidak akan digunakan untuk “mencelakai” kepentingan masyarakat lemah dengan menerabas batas-batas kekuasaan yang diperlukan demi terpeliharanya paham konstitusionalisme.

1 2 3
Exit mobile version