Tindak lanjut PP 1/2003 diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi. Terpidana korupsi dibawa ke sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) sebelum diberhentikan dengan hormat. KKEP, menurut penjelasan Pasal 12 ayat (2) PP 1/2003 berfungsi juga untuk memberikan pertimbangan dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat.
Adanya klausul “memberikan pertimbangan” itulah celah yang menguntungkan koruptor. Praktiknya, pembelaan atasan di sidang KKEP bisa meloloskan polisi koruptor dari pemberhentian dengan tidak hormat. Jika atasan beranggapan yang bersangkutan masih layak dipertahankan sebagai anggota Polri, kendati misalnya sudah divonis penjara 5 tahun, tetap tidak bisa diberhentikan.
Sudah saatnya negara ini menjalankan secara sungguh-sungguh komitmen memberantas korupsi. Bentuk komitmen itu ialah memberhentikan dengan tidak hormat ASN dan anggota kepolisian yang terlibat korupsi.
Tegas dikatakan bahwa semua perundang-undangan yang ada dan peraturan turunannya tidak sensitif terhadap kejahatan korupsi yang banyak dilakukan ASN dan anggota kepolisian. Bunyi aturan yang terang benderang di tingkat undang-undang malah dibuat kabur lagi pada tingkat pelaksanaannya.
Karena itu, perlu direvisi semua undang-undang hingga aturan turunannya agar memberi sanksi tegas terhadap ASN dan anggota polisi koruptor. Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mutlak dijadikan rujukan. Setidaknya, mereka yang divonis penjara paling singkat 2 tahun penjara langsung diberhentikan dengan tidak hormat sejak berkekuatan hukum tetap.
Sungguh ironis jika ASN koruptor menang di PTUN dan diperintahkan untuk kembali bekerja. Sama ironisnya jika atasan polisi mempertahankan anak buahnya yang telah dipenjara karena korupsi. Mau dibawa ke mana negara ini jika koruptor masih dianggap terhormat?