Ironi di Balik Inflasi
info ruang publik – Suatu kali saya menemukan tempe goreng yang ukurannya lebih tipis daripada biasanya. “Biasa, Bang, harga-harga sekarang mahal,” kata si penjual menerangkan. Kedelai, bahan baku tempe-tahu, memang harganya melonjak belakangan ini. Begitu pun dengan komoditas pangan lainnya, seperti cabai. Jika anda penyuka gorengan, mungkin akan menemui pengalaman seperti saya. Dengan harga yang sama, katakanlah Rp20 ribu, jumlah gorengan yang anda terima memang tidak berubah, tapi ukurannya mungkin menyusut atau jauh menipis. Bahkan, mungkin tidak disertai cabai atau kalaupun dikasih, barangkali cuma seuprit.
Namun, anda tidak usah galau. Hal itu juga dialami masyarakat di belahan dunia lainnya. Itu namanya skimpflation. Menurut Alan Cole, seorang penulis di Full Stack Economics dan mantan ekonom senior di komite ekonomi gabungan Kongres AS, skimpflasi adalah ketika konsumen mendapatkan lebih sedikit (terutama kualitas) untuk uang yang telah mereka keluarkan. “Tidak seperti inflasi biasa ketika mereka membayar lebih untuk barang yang sama, skimpflasi adalah ketika mereka membayar harga yang sama untuk sesuatu yang kualitasnya memburuk,” ujarnya seperti dikutip The Guardian, Selasa (28/6).
Pandemi covid-19, ditambah sejumlah faktor lainnya, termasuk konflik Rusia-Ukraina, dan faktor cuaca, telah menyebabkan krisis di berbagai belahan dunia. Untuk menyiasatinya, sejumlah pengusaha terpaksa berhemat di sana-sini, seperti yang dilakukan si penjual gorengan tadi. Itu tidak cuma dilakukan pengusaha kecil, tetapi juga sejumlah perusahaan besar. Dampak pandemi dan ekonomi yang tertatih-tatih, bahkan di ambang resesi, memang membuat semuanya serba sulit, baik produsen maupun konsumen.